Kho Ping Hoo sang maestro Cerita Silat Indonesia

Foto : Kho Ping Hoo

Jakarta, Pesan Rakyat : Tidak terbantahkan, sosok Kho Ping Hoo adalah penulis cerita legendaris di Indonesia. Buku-buku cerita silatnya dibaca oleh banyak orang Indonesia. Bahkan, setidaknya ada tiga presiden di Indonesia yang turut membaca karya-karyanya, yakni B.J. Habibie, Gus Dur, dan Joko Widodo.

Bukan cuma karya-karyanya yang dibaca banyak orang, nama dan sosok Kho Ping Hoo pun turut menjadi perbincangan khalayak, baik ketika ia masih hidup maupun kini saat ia sudah meninggal.

Musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals, pun sempat mengabadikan nama Kho Ping Hoo ke dalam lirik lagunya berikut yang berjudul Teman Kawanku Punya Teman.

Kawanku punya teman, temannya punya kawan
Mahasiswa terakhir fakultas dodol
Lagaknya bak professor, pemikir jempolan
Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi

Kacamata tebal, maklum kutu buku
Ngoceh paling jago, banyak baca Kho Ping Hoo

Dalam sebuah webinar bertajuk "Kho Ping Hoo dalam Dunia Cerita Silat", salah satu putri Kho Ping Hoo menceritakan bagaimana kehidupan ayahnya sebelum dan selama menjadi penulis cerita silat. 

Tina Asmaraman (Kho Tien Nio), puteri ketiga Kho Ping Hoo tersebut mengatakan ayahnya adalah pria keturunan Tionghoa dan Jawa.
Dari akta kelahirannya, tertulis bahwa Kho Ping Hoo terlahir di Sragen pada 17 Agustus 1926.

Meskipun mampu menulis banyak buku cerita silat, Kho Ping Hoo ternyata bukanlah sosok yang benar-benar jago silat. Dia bukan guru silat seperti yang dipikirkan banyak orang. 

"Cuma dikit-dikit main silat dari ayahnya, dari kakek saya," ungkap Tina dalam webinar yang digelar pada Senin (15/3/2021) malam itu.

Sebagai anak kedua yang juga merupakan putra tertua di dalam keluarga karena kakak tertuanya adalah perempuan, Kho Ping Hoo ternyata telah memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarganya ketika ayahnya sakit dan sudah tidak bisa bekerja lagi. "Papa saya berhenti sekolah lalu kerja," kata Tina yang juga merupakan ibu dari Desta Club 80's itu.

Sebelum menjadi penulis cerita silat, Kho Ping Hoo sempat bekerja sebagai juru tulis di sebuah perusahaan angkutan bernama TSH di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada zaman pendudukan Jepang. Dia menjalani pekerjaannya di perusahaan angkutan tersebut selama 12 tahun sambil sesekali menulis cerita pendek. 

Akibat adanya peristiwa kerusuhan rasialis di Tasikmalaya pada 10 Mei 1963, Kho Ping Hoo sempat merasa sakit hati dan hampir pergi ke Tiongkok demi meninggalkan Indonesia. Dalam kerusuhan tersebut, toko, rumah, dan aset milik etnis Tionghoa dirusak. Huru hara itu bermula dari Bandung, tapi lalu merembet ke kota-kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, dan Sukabumi.

"Semua bukunya dirusak, kendaraannya dibakar. Papa saya sakit hati merasa 'saya salah apa'," ujar Tina.

Akibat persitiwa rasialis itu, tadinya Kho Ping Hoo sempat hendak pulang ke China, mengingat dirinya juga masih berstatus sebagai warga negara asing (WNA) di Indonesia. "Tapi karena anak-anaknya masih kecil-kecil, dia jadi mempertimbangkan bahwa kasihan anak-anaknya kalau harus menempuh perjalanan jauh ke China dengan naik kapal laut." Dulu, kata Tina, perjalanan dari Indonesia ke Tiongkok masih harus ditempuh dengan kapal laut. 

Tak jadi pulang ke kampung leluhurnya di Tiongkok, Kho Ping Hoo kemudian memutuskan pindah ke Solo, Jawa Tengah. "Di Solo ada peristiwa (tahun) 65 yang bakar-bakaran lagi. Ada peristiwa rasialis lagi itu. Papa saya kembali sakit hati, benar-benar sampai pengin ke China, karena selalu diperlakukan tidak baik," tutur Tina.

Namun keinginannya tersebut batal kembali dan akhirnya Kho Ping Hoo menetap di Solo sampai akhirnya hayatnya. Pada 22 Juli 1994, Kho Ping Hoo mengembuskan napas terakhirnya di Solo atau kini lebih dikenal sebagai Kota Surakarta.

-KikiDamanhuri

Lebih baru Lebih lama