![]() |
Ferdinand Nauw Tahoba, Tokon muda Papua |
Pesan Rakyat - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, yang diperingati setiap 2 Mei, mengusung tema "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua". Tema ini menjadi seruan kuat untuk melibatkan semua pihak dalam menciptakan pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan relevan, termasuk bagi masyarakat adat seperti Orang Asli Papua. Namun, refleksi atas perjalanan pendidikan Indonesia—dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hingga Kurikulum Merdeka—menunjukkan kegagalan sistem yang terus berulang dalam menjawab kebutuhan masyarakat Papua. Pendekatan pendidikan berbasis komunitas, yang berakar pada budaya dan kearifan lokal, menjadi solusi mendesak untuk mewujudkan visi Hardiknas 2025 di Papua. Artikel ini mengupas kegagalan sistem kurikulum, tantangan pendidikan di Papua, dan pentingnya pendekatan berbasis komunitas, dengan dukungan data dan fakta terkini.
Kegagalan Sistem Kurikulum:
Dari KBK hingga Kurikulum Merdeka.
Sistem pendidikan Indonesia telah mengalami berbagai transformasi kurikulum, namun sering kali gagal mengakomodasi konteks budaya dan sosial masyarakat adat Papua.
Berikut adalah tinjauan kritis atas kegagalan tersebut:
1. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan KTSP (2004-2013.)
KBK dan KTSP dirancang untuk memberikan fleksibilitas kepada sekolah dalam mengembangkan pembelajaran sesuai kebutuhan lokal. Namun, laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2010) menunjukkan bahwa implementasi terkendala oleh minimnya pelatihan guru dan dominasi standar nasional. Di Papua, kurikulum ini tidak mencerminkan realitas masyarakat adat, seperti pengetahuan tentang pengelolaan sagu atau nilai-nilai komunal. Akibatnya, siswa merasa terasing dari proses pembelajaran, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas (2012).
2. Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 menekankan pendekatan saintifik dan penguatan karakter, tetapi evaluasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud (2016) mengungkapkan kesulitan penerapan di daerah terpencil seperti Papua. Hanya 30% sekolah dasar di Papua memiliki fasilitas memadai untuk mendukung pendekatan saintifik, seperti laboratorium atau akses internet (UNICEF Indonesia, 2017). Kurikulum ini juga minim mengintegrasikan budaya lokal, membuat siswa sulit menghubungkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.
3. Kurikulum Merdeka (2022-Sekarang).
Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas melalui pembelajaran berbasis proyek dan Profil Pelajar Pancasila. Namun, laporan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan (Puslitjakdik, 2023) menyoroti bahwa implementasi di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) seperti Papua terhambat oleh minimnya pelatihan guru—hanya 15% guru di Papua telah terlatih hingga 2024 (Kemendikbudristek, 2024). Materi pembelajaran masih cenderung urban-sentris, kurang relevan dengan konteks pedesaan atau adat Papua.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua (2023) menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) di Papua pada jenjang SD hanya 78%, jauh di bawah rata-rata nasional 95%. Faktor seperti infrastruktur minim, jarak sekolah yang jauh, dan ketidakrelevanan kurikulum menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi.
Tantangan Pendidikan di Papua dan Kaitannya dengan Tema Hardiknas 2025.
Tema Hardiknas 2025, "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua", menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan pendidikan yang inklusif. Namun, di Papua, tantangan berikut menghambat visi ini:
1. Alienasi Budaya.
Studi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN, 2020) menunjukkan bahwa sistem pendidikan formal sering mengabaikan pengetahuan lokal, seperti cerita lisan, tarian adat, atau sistem pertanian tradisional Papua. Hal ini menyebabkan siswa merasa terputus dari identitas budayanya, yang bertentangan dengan semangat "pendidikan untuk semua" dalam tema Hardiknas.
2. Keterbatasan Infrastruktur.
Menurut BPS Papua (2023), 40% sekolah dasar di pedalaman Papua tidak memiliki gedung permanen, dan 60% tidak memiliki akses listrik. UNICEF Indonesia (2021) melaporkan bahwa 25% anak usia sekolah di Papua tidak bersekolah karena jarak dan minimnya transportasi. Ini menunjukkan bahwa partisipasi semesta sulit tercapai tanpa investasi infrastruktur yang memadai.
3. Kurangnya Guru Lokal.
Laporan Kemendikbudristek (2022) menyebutkan bahwa hanya 20% guru di Papua berasal dari putra daerah. Guru dari luar sering kali tidak memahami bahasa atau budaya lokal, menyulitkan komunikasi dengan siswa. Tema Hardiknas menekankan keterlibatan komunitas, yang dapat diwujudkan melalui rekrutmen dan pelatihan guru lokal.
Pendekatan Berbasis Komunitas:
Solusi Kontekstual untuk Papua
Orang Asli Papua memiliki tradisi pendidikan berbasis komunitas yang mengintegrasikan pengetahuan praktis—seperti pengelolaan hutan atau pembuatan noken (tas tradisional)—dengan nilai-nilai budaya, seperti gotong royong dan penghormatan terhadap leluhur. Pendekatan ini selaras dengan tema Hardiknas 2025, yang menyerukan partisipasi aktif komunitas untuk menciptakan pendidikan bermutu. Contoh keberhasilan pendekatan ini terlihat dalam laporan The Conversation (2023), di mana pembelajaran tentang pembuatan noken oleh orang tua siswa meningkatkan antusiasme dan motivasi belajar.
Untuk mewujudkan tema Hardiknas 2025 di Papua, pendekatan berbasis komunitas dapat diterapkan melalui langkah-langkah berikut:
1. Integrasi Kearifan Lokal dalam Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka memungkinkan pengembangan muatan lokal. Pemerintah dapat bekerja sama dengan komunitas adat untuk memasukkan pengetahuan tradisional, seperti sistem penanaman sagu atau pola anyaman, ke dalam pembelajaran. Misalnya, matematika dapat diajarkan melalui analisis pola noken, sementara sains dapat berfokus pada ekosistem hutan Papua.
2. Pelatihan dan Rekrutmen Guru Lokal.
Studi Universitas Cenderawasih (2022) menunjukkan bahwa guru lokal lebih efektif dalam meningkatkan motivasi siswa karena pemahaman konteks budaya. Program seperti Guru Penggerak harus diprioritaskan untuk putra daerah, mendukung partisipasi komunitas sesuai tema Hardiknas.
3. Sekolah Berbasis Komunitas.
Program sekolah lapang atau kelas satelit, seperti yang dilaporkan oleh Yayasan Pendidikan Adat Papua (YPAP, 2023), telah meningkatkan tingkat kehadiran siswa hingga 30% di beberapa kampung. Ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis komunitas dapat menjangkau anak-anak di pedalaman.
4. Kemitraan dengan Tokoh Adat.
AMAN (2021) merekomendasikan pembentukan dewan pendidikan adat di setiap kabupaten untuk mengawasi kurikulum berbasis komunitas. Keterlibatan tokoh adat memastikan pendidikan selaras dengan nilai-nilai budaya, mewujudkan "partisipasi semesta".
Pendidikan Yang Membebaskan Untuk Papua.
Tema Hardiknas 2025 adalah panggilan untuk mengakhiri kegagalan sistem pendidikan yang telah lama meminggirkan Orang Asli Papua. Kurikulum yang tidak kontekstual, infrastruktur yang minim, dan pendekatan yang mengabaikan budaya lokal telah membuat pendidikan menjadi beban, bukan pemberdayaan. Pendidikan berbasis komunitas adalah kunci untuk menciptakan sistem yang inklusif dan bermakna, yang tidak hanya memenuhi standar nasional tetapi juga menghormati identitas budaya Papua.
Pemerintah harus memanfaatkan fleksibilitas Kurikulum Merdeka untuk mengintegrasikan kearifan lokal, melatih lebih banyak guru lokal, dan membangun infrastruktur yang mendukung akses pendidikan di pedalaman. Partisipasi semesta bukan sekadar slogan, tetapi komitmen untuk melibatkan komunitas adat sebagai mitra sejati dalam merancang masa depan pendidikan. Hanya dengan pendekatan ini, visi Hardiknas 2025—pendidikan bermutu untuk semua—dapat benar-benar terwujud di tanah Papua.
Penulis adalah Guru, Analisis Kebijakan, dan Pemerhati Pendidikan Papua.
Daftar Sumber.
1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). (2020).
Pendidikan Adat: Mengembalikan Identitas Masyarakat Adat. Jakarta: AMAN.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud. (2016). Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
3. Badan Pusat Statistik (BPS) Papua. (2023). Indikator Pendidikan Papua Tahun 2023. Jayapura: BPS Papua. [https://papua.bps.go.id/id/publication/2024/05/30/fc36c472e5e62f1570498d83/indikator-pendidikan-papua-tahun-2023.html]
4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). (2010). Laporan Implementasi KBK dan KTSP. Jakarta: Kemendikbud.
5. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). (2022). Laporan Program Guru Penggerak di Papua. Jakarta: Kemendikbudristek.
6. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). (2024). Progres Implementasi Kurikulum Merdeka di Wilayah 3T. Jakarta: Kemendikbudristek.
7. Kompas. (2012). "Kurikulum Pendidikan di Papua Tidak Relevan dengan Konteks Lokal". 15 Agustus 2012. [https://www.kompas.id]
8. Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan (Puslitjakdik). (2023). Tantangan Implementasi Kurikulum Merdeka di Wilayah Terpencil. Jakarta: Kemendikbudristek.
9. The Conversation. (2023). "3 Cara Agar Pendidikan di Papua Mencerminkan Nilai-Nilai dan Budaya Lokal dengan Lebih Baik". [https://theconversation.com/3-cara-agar-pendidikan-di-papua-mencerminkan-nilai-nilai-dan-budaya-lokal-dengan-lebih-baik-216542]
10. UNICEF Indonesia. (2017). *Pendidikan di Papua: Tantangan dan Peluang. Jakarta: UNICEF.
11. UNICEF Indonesia. (2021). Situasi Anak di Papua: Akses Pendidikan. Jakarta: UNICEF.
12. Universitas Cenderawasih. (2022). Studi Efektivitas Guru Lokal dalam Pendidikan Dasar di Papua. Jayapura: Uncen.
13. Yayasan Pendidikan Adat Papua (YPAP). (2023). Laporan Program Sekolah Berbasis Komunitas. Jayapura: YPAP.
14. Jubi Papua. (2025). "Kepemimpinan Transformasional untuk Pendidikan Digital di Papua". [https://jubi.id/opini/2025/kepemimpinan-transformasional-untuk-pendidikan-digital-di-papua/.***