![]() |
Foto : M Achadi dan Presiden Sukarno |
Jakarta, Pesan Rakyat-- Mochamad Achadi Mantan Menteri Transmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, kabinet terakhir masa Bung Karno menjadi presiden dan Rektor Universitas Bung Karno (UBK) era Presiden Sukarno Angkat Bicara
Lelaki itu bernama Mohammad Achadi. Dia salah satu saksi kunci dari narasi panjang Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang berujung tragedi. Pada medio 1964, atau setahun sebelum peristiwa G30S terjadi, Presiden Sukarno mengangkat pria kelahiran Kutoarjo 83 tahun silam itu menjadi Menteri Transmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora I dan II. Sejak itu Achadi masuk dalam lingkaran orang kepercayaan Bung Karno.
“Saya Sukarnois (loyalis Bung Karno),” katanya.
Sebagai menteri kabinet terakhir Bung Karno, sekaligus saksi hidup jatuhnya Bung Karno, tentu saja Achadi tahu banyak tentang peristiwa yang sekarang kita kenal dengan sebutan G30S (Gerakan 30 September).
Achadi sendiri menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober). Keduanya terjadi di tahun yang sama, 1965, yang berepilog, runtuhnya rezim Sukarno dan naiknya rezim Soeharto. Sebagai orang dekat Presiden Sukarno, Achadi pernah dipenjara rezim Suharto. Saat di penjara itulah ia bertemu dengan tokoh-tokoh PKI.
Ia juga melakukan penelusuran untuk mencari tahu siapa di balik peristiwa Gestok ini.
Penelurusannya itu, ia tuangkan dalam buku “Kabut G30S, Menguak Peran CIA, M16, dan KGB”. Dalam buku itu, ia berkesimpulan bawah Presiden Sukarno tidak terlibat sama sekali dalam G30S. Tulisan ini merupakan wawancara Mohammad Achadi yang dilakukan Peter A, Rohi bersama tim Jejak-jejak Bung Karno.
Meski tak langsung berbicara tentang kejadian ’65 Achadi bercerita banyak tentang Bung Karno
Bagi Achadi pertistiwa G30S bukan hanya tentang penculikan dan pembunuhan tujuh orang jenderal dan tiga perwira menengah Angkatan Darat. Peristiwa G30S merupakan narasi panjang tentang arus balik pembentukan sejarah Indonesia.
Dari peristiwa G30S Indonesia berubah dari bangsa Trisakti yang berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan menjadi bangsa yang gampang didikte asing. Persatuan nasional yang saat itu menjadi teladan negara-negara dunia ketiga di Asia-Afrika, dipecah belah dalam perang saudara.
“Kata Bung Karno G30S membuat revolusi Indonesia mundur 20 tahun ke belakang. Seperti tahun 1945,” ujar Achadi.
Lama merenung tentang apa yang terjadi dalam peristiwa 50 tahun silam, Achadi berkesimpulan aksi G30S yang dipimpin Letnan Kolonel Untung Samsuri hanyalah permulaan dari skenario panjang menghancurkan revolusi Indonesia. Sasaran utamanya adalah Bung Karno selaku pemimpinan tertinggi revolusi.
“Saya berkesimpulan bahwa G30S adalah penghianatan berbentuk jebakan-jebakan terhadap Bung Karno dan seluruh kekuatan yang loyal terhadap Bung Karno,” katanya.
Analisa berangkat dari kenyataan yang terjadi setelah peristiwa G30S. Saat itu perlahan namun pasti wibawa dan kekuasaan politik Bung Karno digerogoti.
Sejumlah orang kepercayaan Bung Karno ditangkapi. Bung Karno juga dilarang mengikuti beragam aktivitas politik yang sudah menjadi “vitamin” batinnya sejak muda.
Bahkan, manusia yang sejak muda gigih melawan penjajahan ini mesti mati dalam status sebagai tahanan rumah di negeri yang kemerdekaannya dia proklamasikan sendiri. Dan yang paling penting, revolusi Indonesia menentang neokolonialisme dan neoimperialisme berhenti total. -Red